Sponsor

Info Desa

UPK DAN DANA BERGULIR DALAM KONTEKS UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

1.Latar Belakang Masalah
Unit Pengelola Kegiatan (UPK) berdiri di hampir 5000 kecamatan, mengelola dana masyarakat kurang lebih 10,7 trilyun rupiah. Kepemilikan asset yang dikelola oleh UPK adalah masyarakat dan merupakan kepemilikan aset kolektif masyarakat Desa-Desa dalam rangka kerjasama antar Desa. Secara organisasi UPK adalah unit kerja di bawah naungan BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa). Kedudukan BKAD saat ini tertuang dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (sebelumnya merupakan amanat PP 72 tahun 2005 Tentang Desa). Kedudukan hukum UPK terkait dengan kebutuhan perlindungan dan pelestarian aset, sistem, serta manfaat layanan UPK bagi masyarakat diletakkan dalam kaitan kedudukan UPK yang secara organisatoris di bawah naungan organisasi kerja BKAD.
Sesuai kedudukan Desa sebagaimana UU Desa tersebut, termasuk pengakuan (kebijakan) terhadap hak kepemilikan komunal (tidak hanya kepemilikan privat dan publik) menempatkan Desa (Kepala Desa) sebagai subyek hukum yang merepresentasikan kepemilikan komunal (aset bersama). Dibutuhkan konsistensi terhadap derivasi kerjasama desa sebagaimana UU Desa itu sekaligus menjadi acuan pendasaran legal kepemilikan aset, kegiatan, serta kelembagaan dana bergulir.
Juknis Pengakhiran PNPM Mandiri Perdesaan yang dikeluarkan melalui Surat Dirjen PPMD No 134/DPPMD/VII/2015 tertanggal 13 Juli 2015 mempertegas posisi dan kebijakan yang telah diambil sekaligus perlu menyusun strategi baru agar implementasi terhadap kebijakan tersebut makin optimal.

2. Analisis Kebijakan Kelembagaan UPK
Kebijakan UPK mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi. Kebijakan ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan fungsi dan struktur sekaligus. Hal yang berkaitan dengan penetapan peraturan UPK pada dasarnya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan 3 prinsip dasar yaitu; menggambarkan nilai yang telah terinternalisir dalam organisasi UPK dan masyarakat misalnya akuntabilitas, partisipasi, kerjasama, transparansi; memperhatikan isi peraturan (yuridis material) agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih atas; memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, termasuk kesiapan menerima dan mengimplementasikan produk hukum baru.
Kebijakan UPK mempertimbangkan kebijakan sebelumnya yang telah berjalan. Hal ini selaras dengan pendapat Merilee S. Grindle (1980), bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya).
Demikian juga menurut Richard Matland (1995) yang mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks. Pada prinsispnya ‘Matrik Matland’ memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu: Ketepatan Kebijakan, Ketepatan Pelaksanaan, Ketepatan Target, Ketepatan Lingkungan.
3. Analisis Masalah Lapangan
Pernyataan bahwa badan hukum dapat menjawab kebutuhan agar perilaku melanggar aturan main kurang tepat. Justru berfungsinya suatu sistem tidak bisa didekati hanya dengan menerbitkan peraturan yang bersifat top down. Badan hukum koperasi adalah contoh dimana pendekatan formal-legalistik tidak cukup tangkas memagari institusi dari perilaku mengambil untung para pengurusnya.
Tindakan pelanggaran (tindakan melanggar aturan main termasuk pelanggaran prinsipal, menyangkut pelanggaran kontrak para pihak, lihat teori agensi) bisa berupa pengambilan sepihak kepemilikan asset/inventaris, misalokasi anggaran kegiatan UPK, pelanggaran mekanisme keputusan partisipatif, kegagalan menterjemahkan mandat dan kewenangan pengurus. Belum ditemukan adanya laporan mengenai ancaman eksternal terhadap UPK beserta aturan main yang melengkapi, misalnya ada lembaga yang akan mengakuisisi UPK.
Talcott Parson menawarkan pendekatan revitalisasi sistem organisasi agar berfungsi secara utuh mencakup aspek kemampuan adaptasi organisasi, integrasi hubungan antar fungsi, tujuan organisasi, dan penanaman nilai organisasi (George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2008). Keempat pendekatan itu lebih mengedepankan aspek fungsionalisasi organisasi sebagai jalan keluar ancaman moral hazard pengurus organisasi. Motif permasalahan karena andanya pelanggaran pelaku sebagai dorongan kebutuhan badan hukum secara teoritis dan pengalaman lapangan kurang berdasar.
Jika terjadi pelanggaran mendasar, missal berupa perubahan status kepemilikan asset, penyelewengan mandat masyarakat, dan pengambilan kewenangan secara sepihak hal itu perlu dipelajari lebih teliti. Ketiga pelanggaran ini diberikan contoh sebagai berikut, berubahnya aset masyarakat menjadi aset personal, berubahnya mandat masyarakat ke mandat pengurus, berubahnya kewenangan berbasis aturan main menjadi kewenangan yang diselewengkan. Kebutuhan badan hukum dapat menegasikan spirit kerja fasilitasi yang laten/berulang. Kepercayaan dapat dianalisis dengan SWOT, jika misalnya kerjasama dengan pihak ketiga adalah peluang yang tidak terbantahkan, maka identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan organisasi menjadi dasar rasionalitas yang harus dilakukan untuk menangkap peluang itu.
Peluang kerjasama harusnya diletakkan dalam rute yang bertahap. UPK yang matang dalam menjalin kerjasama harus mempunyai cara untuk menunjukkan diri tentang kematangan internal (adaptasi, tujuan, integrasi fungsi, dan latensi) dan kematangan kerjasama (dimulai dari tingkat pemula, tingkat siap, dan tingkat mandiri). Pihak ke-2 yang menawarkan kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan badan hukum serta mengabaikan kematangan internal organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama. Penting disadari bahwa dalam rangka implementasi kebijakan penataan kelembagaan terbangun trust dan sinergi dengan pihak ketiga.
 4. Rekomendasi:
  1. Perlu dilakukan bentuk-bentuk treatment baru yg bisa membangun rasa percaya masyarakat terkait standar pelayanan, sistem informasi manajemen, pengembangan skem kredit dan usaha/portofolio investasi, standar kerja dan budaya organisasi.
  2. Simulasi penilaian struktur dan fungsi kelembagaan sejauh mana mampu mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi.
  3. Memastikan secara fungsi penataan yang ada mampu mendorong pengurus makin kompetitif secara pengelolaan keuangan, pelayanan dan akuntabilitas.
  4. Menyusun rencana strategis (memberi penegasan tentang prinsip dasar/perspektif PPMD utk memperkuat positioning serta membangun branding), dikaitkan dengan issue2 kerjasama Desa, kegiatan dana bergulir, kepemilikan kolektif sebagai bentuk konsistensi sikap terhadap UU No 6 Tahun 2014.                                  ______________________________________
Daftar Pustaka


  1. Riant Nugroho DR, 2002, Public Policy, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
  2. Erani Yustika DR, 2008, Ekonomi Kelembagaan, Bayu Media, Malang
  3. Randy W, Riant Nugroho, 2006, Manaj Pembangunan Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jkt
  4. Subarsono, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
  5. Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayu Media, Malang
  6. Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
  7. JJ Rousseau, 2007, Du Contract Social, Visi Media, Jakarta
  8. Widjajono Partowidagdo, 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Pasca Sarjana ITB, Bandung
  9. Anthony Giddens, 2010, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
  10. James S Colleman, 2010, Dasar-Dasar Teori Sosial, Nusa Media, Bandung
  11. 2009, Himpunan Peraturan, Depdagri, Jakarta

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "UPK DAN DANA BERGULIR DALAM KONTEKS UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA"

Post a Comment