A. Latar Belakang
Selama hampir lebih dari dua dasawarsa proses pembangunan di tanah air tercinta Indonesia, kita menyaksikan dan mengalami pertumbuhan perekonomian yang secara bertahap meningkat dengan pesatnya. Bahkan beberapa tahun sebelum krisis terjadi, mesin pertumbuhan ekonomi telah terpacu melebihi daya dukung kapasitasnya dengan segala akibat yang harus kita tanggung: seperti melonjaknya hutang luar negeri; misalokasi sumber daya nasional kepada pengembangan sektor manufaktur yang sangat tergantung pada komponen bahan baku impor; suburnya kolusi-korupsi-dan nepotisme; dan yang tidak kalah pentingnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah (propinsi) di Indonesia.
Ketimpangan pembangunan daerah di negeri kita ini dapat disimak dengan data-data faktual berikut ini: Propinsi-propinsi di Jawa yang meliputi sekitar 7 persen areal produktif di Indonesia menyumbangkan sekitar lebih dari 60 persen total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1997. Sebelum krisis perekonomian menerpa sendi-sendi penghidupan masyarakat kita, DKI Jakarta memiliki kontribusi terbesar dalam pendapatan daerahnya (17,5%), di ikuti oleh Jawa Barat (17,4%) dan Sumatera Utara. Kemudian empat propinsi di luar Jawa yang memiliki sumber daya alam (SDA) terkaya ternyata hanya menyumbangkan sebagian kecil PDB Indonesia. Dalam hal ini Kalimanatan Timur menyumbangkan 5 persen, Riau 4,5 persen, Sumatera Selatan 3,3 persen dan Aceh 3 persen. Pada saat ini diperkirakan gambaran disparitas ini akan semakin memburuk.
Ketimpangan pembangunan daerah ini tidak dapat dibiarkan dan dianggap sebagai sesuatu yang given, mengingat rawannya masalah ketidak puasan masyarakat belakangan ini terhadap pola pembangunan nasional bertahap versi Rostow yang telah diadopsi oleh para teknokrat orde baru selama lebih dari 30 tahun. Tuntutan desentralisasi dan hak otonomi untuk mengatur dan merencanakan pembangunan daerah merupakan sesuatu keputusan politik yang rasional, sehingga perlu diantisipasi persiapannya secara matang.
Makalah ini dipersiapkan untuk memenuhi term of reference yang dipersiapkan oleh Panitia Semiloka Pemberdayaan BUMD menghadapi otonomi daerah. Secara lebih terfokus, makalah ini merupakan sumbangan pemikiran dari penulis dalam upaya bagi Daerah –Daerah Otonom menyusun strategi pembangunan daerahnya untuk dapat menarik investor. Pemikiran tersebut diajukan dengan berbagai asumsi dasar tentang desentralisasi, yang diinterpretasikan dari butir-butir pasal UU No.22 Tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999 serta pengetahuan penulis dalam bidang pembangunan ekonomi daerah dan pengembangan iklim investasi.
B. Asumsi Dasar Landasan Desentralisasi Pembangunan Pasca UU No.25/1999
Upaya pembangunan dan strategi pembangunan daerah yang cenderung sentralistik merupakan salah satu faktor dominan yang memperkuat ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. Paradigma dan model pembangunan perekonomian daerah yang diakomodasikan kepada keperluan sistem perencanaan pembangunan perekonomian nasional, dengan berbagai modelling perekonomian makro yang sifatnya komprehensif, menyebabkan teralokasinya dana dan sumberdaya pembangunan kepada sektor-sektor favorit yang sayangnya bias terkonsentrasi di daerah-daerah pembangunan di Jawa dan beberapa kantong daerah perkotaan di Sumatera.
Sentralisasi berbagai keputusan pemerintah dan lembaga publik/departemen pada tingkat pusat telah pula memperbesar inefisiensi, antara lain dengan semakin banyaknya proyek-proyek pembangunan di daerah yang tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan daerah. Kita menyaksikan pula bagaimana hampir sebagian besar daerah Propinsi di luar Jawa tidak berdaya dalam melaksanakan program-program pembangunannya secara swakelola mengingat keterbatasan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam menggali dan menggunakan dana pembangunan daerah.
Permasalahan ketimpangan dan segala bentuk ketidakadilan pembangunan kemudian semakin muncul ke permukaaan , khususnya dengan tumbangnya era pembagunan orde baru. Aspirasi daerah untuk mengatur rumahtangga sendiri secara lebih mandiri muncul tak terelakkan, antara lain dengan keinginan beberapa daerah untuk mendapatkan hak otonomi penuh dari Pemerintah Pusat dalam menjalankan roda pemerintahan daerahnya. Tidak heran pula jika kita melihat kenyataan masyarakat Aceh yang menginginkan kemerdekaannya mengingat kontribusi SDAnya yang begitu tinggi terhadap penerimaan minyak bumi sementara pendapatan per kapitanya jauh di bawah kinerja rata-rata nasional.
Syukur Allhamdullilah para wakil rakyat dalam orde pasca orde baru dapat menghayati dan mengerti tuntutan-tuntutan tersebut dengan mengeluarkan ketetapan Undang-Undang No22 Tahun 1999 tentang (otonomi) Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan pelaksanaan otonomi kepada pemerintahan di daerah, khususnya daerah kabupaten dan daerah kota, yang lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1974. Apabila sebelumnya pemahaman desentralisasi adalah terbatas pada azas dekonsentrasi dan azas delegasi atau pelimpahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan administrasi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahan kepada institusi semi otonom di daerah, maka setelah dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah azas devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih luas yang ingin dicapai oleh para wakil rakyat dan pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya dalam pengambilan keputusan, pembiayaan dan manajemen kepada Daerah Otonom.
Perkembangan arah pembangunan yang lebih terdesentralisasi dan otonom ini perlu disambut dengan berbagai perubahan cara pandang dan harapan terlaksananya pembangunan daerah yang lebih berkeadilan dan merata. Melihat dan mempelajari butir-butir pasal yang ada pada kedua Undang-Undang dan berbagai implikasi pelaksanaan Undang-Undang tersebut, penulis merasa perlu mengajukan beberapa asumsi dasar tentang filosofi dan landasan desentralisasi pembangunan daerah yang seyogyanya diperhatikan oleh para perumus dan pelaksana kebijakan pembangunan nasional dan daerah di masa yang akan datang berikut ini:
1. Penekanan pada good governance. Pelaksanaan otonomi daerah pada era globalisasi menuntut proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang lebih luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik dan pendayagunaan sumber-sumber alam, anggaran dan sumberdaya manusia menurut kepentingan semua pihak dalam cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, efisiensi, tranparansi dan akuntabilitas.
2. Region vs People. Otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan daerah pada era pasca UU No.22 1999 harus lebih menekankan pada prioritas kepentingan kelompok mayarakat di daerah dan tidak kepada kepentingan daerah atau wilayah yang menjadi obyek rekayasa perencanaan pembangunan.
3. Participatory democracy. Berbeda dengan cara-cara dan proses pengambilan keputusan yang selama ini dilakukan sepihak dan bersifat sentralistik, maka dalam era otonomi sekarang ini proses pembangunan daerah harus menjunjung tinggi partisipasi kelompok masyarakat dalam pembangunan, antara lain dalam menetapkan prioritas tujuan-tujuan pembangunan daerah.
4. Kesejajaran Hubungan Organisasi. Sebelum dikeluarkannya UU No.22/1999 dalam melaksanakan azas dekonsentrasi Daerah Propinsi seringkali dalam prakteknya membawahi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk masa mendatang wilayah administratif dibatasi hanya pada satu daerah, yakni Propinsi. Hubungan kerja antara Pusat/Departemen/Propinsi dan Daerah Otonom (Kabupaten/Kota) merupakan mitra kerja hierarki organisasi yang sejajar dan bukan bersifat hirarkis.
5. Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun otonomi merupakan pengakuan kemandirian mengatur rumahtangga daerah, desentralisasi hubungan pusat-daerah tetap harus terlaksana dalam ikatan kepentingan NKRI.
6. Pengawasan. Kontrol pemerintah pusat tetap diperlukan untuk menjaga dan memelihara integrasi nasional sebagai kepentingan politik bersama; sementara DPRD melakukan fungsi pengawasan yang lebih luas dan aspiratif pada tingkat daerah.
7. Hak dan kewajiban yang seimbang. Otonomi daerah disamping merupakan pemberian kewenangan daerah untuk mengelola SDA dan memperoleh tambahan pendapatan, proses desentralisasi ini harus juga dibarengi dengan pelimpahan tanggung jawab pada pengadaan infrastruktur daerah yang efisien berikut upaya pemberian jasa pelayanan publik yang lebih baik.
8. Minimal Social Overhead Capital(SOC). Berbeda dengan konsep minimal requirement yang diajukan oleh Rostow maka desentralisasi pembangunan daerah sebagai implikasi penerapan otonomi versi UU No25/1999 perlu didahului dengan peningkatan kompetensi kelembagaan dan sumberdaya manusia yang mampu melaksanakan operasionalisasi otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan yang terdapat di dalamnya.
9. Sinergi Hubungan Antar Daerah. Proses otonomi pembangunan daerah akan mendorong masing-masing daerah untuk mengejar ketertinggalan dalam pembangunannya secara serempak. Namun demikian perlu diupayakan bahwa dalam merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan daerah maka jangan sampai keputusan yang dipilih untuk dilaksanakan di masing-masing daaerah dapat merugikan kepentingan daerah-daerah lainnya di sekelilingnya. Bahkan sangat disarankan untuk mencari solusi-solusi yang dapat menghasilkan sinergi bersama.
10. Vicious Circle of Disparity. Dalam sejarah pembangunan daerah di berbagai negara di dunia, proses otonomi dan desentralisasi pembangunan daerah tidak secara sekaligus dapat menghilangkan disparitas pembangunan antar daerah dalam tempo yang relatif singkat. Proses menuju convergency pendapatan per kapita antar daerah harus dilalui dengan proses pembelajaran yang unik dan panjang di masing-masing negara di dunia. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang menganut konsep negara federal memerlukan lebih dari 130 tahun sejak tahun 1840 agar disparitas pendapatan perkapita antar negara bagiannya mengalami kovergensi mendekati pendapatan nasional perkapitanya.
Butir-butir pemikiran tentang asumsi atau landasan filosofis desentralisasi pembangunan ini sangat diperlukan dalam memformulasikan rencana dan kebijaksanaan pembangunan daerah secara efektif dan memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Kita tidak menginginkan pemberlakuan UU No 22/1999 dan UU 24/1999 hanya sekedar merupakan retorika politik untuk memenuhi tuntutan reformasi.
C. Strategi Investasi Untuk Menarik Minat Investor
Dalam UU No.22 Tahun 1999 sangat jelas tergambarkan kewenangan daerah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi manajemen kepemerintahan secara lebih luas seperti tersirat pada Pasal 7. Dalam hal ini kewenangan daerah mencakup seluruh (fungsi) bidang pemerintahan, dengan pengecualian kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan dalam bidang lain. Batas-batas kewenangan ini sangat penting untuk dilaksanakan di lapangan khususnya sampai sejauh mana Daerah Otonom dapat melakukan sistem perencanaan pembangunan daerahnya, yang akan menjadi acuan dalam merumuskan strategi pengembangan investasi.
Memperhatikan asumsi dasar filosofi desentralisasi yang dikemukakan di atas (azas good governance, people orientation dan participatory democracy), maka sudah saatnya sistem perencanaan daerah dilengkapi dengan Master Plan Pengembangan Daerah yang berwawasan strategik. Pola lama yang melihat dan memperlakukan kebijaksanaan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari sistem perencanaan ekonomi nasional dengan bias sektoralnya perlu secara berangsur ditinggalkan, dan kemudian digantikan dengan kemandirian Daerah Otonom untuk merencanakan pengembangan daerahnya.
Master plan pengembangan daerah akan semakin mengambil peran dalam proses manajemen pengelolaan pembangunan Daerah Otonom, dan pada tahap awal perlu dibangun dan dimiliki oleh Daerah Propinsi. Master Plan Pengembangan Daerah ini akan merupakan acuan untuk arah kegiatan pembangunan wilayah dari sekelompok Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (azas sinergi hubungan antar daerah). Disatu pihak rencana ini merupakan peralatan sinkronisasi dalam penyusunan pengembangan rencana sektor Departemen pada tingkat propinsi, tetapi dilain pihak merupakan peralatan sinkronisasi skenario perekonomian pada skala makro(azas NKRI).
Dalam master plan ini secara minimal perlu disusun suatu swot analysis yang dihadapi oleh Daerah Propinsi, berikut identifikasi kendala-kendala yang dihadapi masing-masing Daerah Otonom didalamnya. Atas dasar analisa tersebut selanjutnya dijabarkan visi dan tujuan pembangunan daerah dalam jangka panjang, yang dalam proses perumusannya akan melibatkan seluruh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota berikut para wakil rakyat (DPRD ) di propinsi tersebut (azas participatory democracy).
Atas dasar analisis swot berikut penetapan visi dan misi ini selanjutnya dapat dirumuskan berbagai strategi pengembangan daerah yang meliputi strategi investasi dan promosi, strategi pembangunan infrastruktur dan social overhead capital; strategi penggunaaan, pemanfaatan dan pengembangan lahan; strategi mobilisasi dana dan anggaran; dan strategi perumusan kebijaksanaan daerah. Pada tingkatan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, berbagai jenis rencana tindakan (Action Plan) yang merupakan wujud pelaksanaan strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang telah ditetapkan dapat dirumuskan secara detail menurut kebutuhan dan kemampuan masing-masing Daerah Otonom.
Rencana tindakan yang disarankan disini secara bertahap dipersiapkan oleh Daerah Kota atau Daerah Kabupaten dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Cakupan rencana tindakan tersebut berupa rencana kota, rencana teknis atau rencana detail dalam melaksanakan kewenangan yang tersirat pada Pasal 11 ayat 2 UU 22 Tahun 1999, meliputi kegiatan merencanakan kegiatan pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Selanjutnya waktu merumuskan strategi pengembangan daerah akan sampai pada pertanyaan berikut: Strategi investasi yang bagaimana yang dapat kita jalankan sehingga akan menarik minat investor untuk berinvestasi di daerah?
Menjawab pertanyaan ini akan sangat tergantung pada kondisi yang dihadapi oleh masing-masing daerah serta kebutuhan pengembangan investasi dan infrastruktur yang akan dijalankan selama suatu periode perencanaan.
Namun demikian, dengan mengacu pada berbagai pendekatan dan model teoritis dalam pengembangan daerah, strategi pengembangan investasi di daerah dapat dipilih dari beberapa bentuk strategi investasi berikut ini:
• Strategi pengembangan leading/key industry
• Strategi growth center melalui kawasan industri terpadu
• Strategi pengembangan ancillary industry
• Strategi pengembangan kota
• Strategi pengembangan kehidupan lokal(neighborhood)
• Strategi pengembangan fasilitas umum skala besar
• Strategi pengembangan agropolitan dan pertanian terpadu
• Strategi pengembangan perlindungan lingkungan alam
Pada saat ini masih banyak lagi bentuk-bentuk strategi investasi pengembangan daerah yang sedang direncanakan dan dikembangkan oleh berbagai institusi pemerintahan daerah di Asia dan kawasan negara maju lainnya, khususnya yang dikaitkan dengan bentuk topologi, kondisi, kemajuan teknologi dan ketersediaan sumber-sumber pendanaan di masing-masing daerah. Untuk tujuan pembahasan makalah ini kita mengkonsentrasikan hanya pada beberapa jenis strategi di atas. Baiklah kita uraikan secara singkat bentuk-bentuk strategi investasi yang paling banyak dipakai di dunia.
(1) Strategi Pengembangan Leading/ Key Industry
Strategi pengembangan industri andalan merupakan strategi pembangunan daerah yang paling favorit untuk dilaksanakan. Industri andalan yang akan dikembangkan biasanya merupakan kegiatan usaha atau industri di daerah yang memiliki keunggulan daya saing dibandingkan dengan kegiatan sejenis di daerah pesaing lainnya.
Menurut Perroux, sebagai pioneer arsitek konsep “polarized development” dalam pengembangan daerah, leading industry memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor kegiatan ekonomi lainnya di daerah; sehingga dapat mendorong pola pembangunan yang terpolarisasi di dalam wilayah suatu daerah. Industri andalan ini biasanya berbentuk industri yang berorientasikan ekspor, seperti LNG untuk Aceh, minyak bumi dan kelapa sawit untuk Riau, pariwisata dan perhotelan untuk Bali, tekstil untuk Jawa Barat dan perbankan/lembaga keuangan untuk DKI Jakarta.
Industri andalan yang dikembangkan di daerah diharapkan akan mendorong proses pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan sumber pendapatan di daerah tersebut baik dalam bentuk pendapatan perusahaan dan rumah tangga maupun pendapatan dari pajak daerah. Salah satu metode untuk menyeleksi industri andalan yang memiliki daya saing adalah dengan “revealed comparative advantage”(RCA). Menurut analisis yang dilakukan oleh Brodjonegoro (1999), Daerah Aceh memiliki dua industri andalan masing-masing industri yang menghasilkan produk minyak bumi dan pupuk, dengan RCA index di atas satu. Sayangnya ada kendala keterbatasan cadangan minyak dan besarnya komponen impor bahan baku pupuk yang jika akan dikembangkan lebih lanjut menjadi terbatas sustainabilitynya. Demikian proses analisis seperti ini dapat dilanjutkan untuk Daerah Propinsi lainnya..
Keunggulan daya saing industri andalan dapat dipertahankan sepanjang industri tersebut dapat mendorong terbentuknya berbagai penghematan eksternal (external economies), antara lain dengan mengembangkan lebih lanjut industri hilir dan industri-industri penunjang. Agar proses ini dapat terlaksana Pemerintah Daerah dapat memberikan berbagai kemudahan dan sistem insentif investasi yang merangsang agar industri andalan ini dapat berkembang.. Pemberian sistem insentif tersebut perlu dikaitkan dengan kemampuan industri ini melakukan kegiatan R&D dan inovasi agar proses multiplier terhadap perekonomian daerah dapat terus dipelihara dalam jangka panjang..
Industri kunci yang telah mature perlu segera dicarikan penggantinya, mengingat kemunduran dalam perkembangan penjualannya dapat mempengaruhi kinerja keuangan daerah. Sebaiknya suatu daerah tidak mengandalkan hanya pada satu industri kunci, seperti halnya Sumbar dengan PT Semen Padangnya dan Irian Barat dengan PT Freeport Indonesianya. Tetapi sebaliknya pilihan industri kunci ini jangan terlalu banyak mengingat kemampuan daya serap yang terbatas dari perekonomian lokal dalam mensupply tenaga kerja trampil dan dalam penyediaan sarana/prasarana.
Kelemahan utama dari strategi pembangunan leading industry ini adalah ancaman terhadap kemungkinan terpolarisasinya pembangunan daerah hanya pada wilayah core yang terbatas. Hal ini sudah terbukti dengan kehadiran PT Caltex di Dumai, PT Freeport Indonesia di wilayah Irian Jaya dan mega proyek lainnya di pelosok daerah Indonesia.
2. Strategy Growth Center
Strategi growth center pernah populer dikalangan arsitek pembangunan kota pada tahun 1960 dan 1970. Strategi ini antara lain menekankan pentingnya program penyediaan fasilitas kota atau infrastruktur untuk suatu kawasan industri pada lokasi atau tempat strategik (ports, transit site, intersection dekat dengan lokasi growth center).
Para perintis model strategi pembangunan daerah ini antara lain adalah Hirschman (1958), Lyod Rodwin (1963), dan Friedmann (l966). Doktrin growth center ini kemudian berkembang pesat , sebagaimana dibahas oleh Niles M Hansen (1967,1968) dan DF Darwent (1969). Keterkaitan growth center dan perekonomian daerah pernah banyak terjadi di banyak kawasan sebagaimana dilaporkan oleh Brian Berry (1969) dan Gordon Cameron (1970); walaupun sebenarnya banyak juga kasus-kasus kegagalan seperti terjadi di Malaysia, Amerika Latin, dan bahkan di Indonesia seperti di kawasan industri Makassar, Cirebon dan Semarang.
Strategi growth center telah banyak berhasil di Indonesia antara lain dengan dibangunnya kawasan Pulau Batam (BIDA, 2000) dan kawasan industri di Pulogadung-Jakarta. Keberhasilan pengembangan Pulau Batam adalah karena lokasinya yang strategis dekat dengan tranfer-points perdagangan antar negara di Singapura, dan memanfaatkan pengembangan ancillary industries yang memiliki keterkaitan dengan leading industry elektronika di negara tetangga. Banyaknya obyek wisata baru yang dikembangkan turut pula mendorong keberhasilan tersebut, disamping tentunya hasil kerja keras dari para pimpinan puncak manajemen pengelola kawasan Batam. Sedangkan untuk kawasan industri Pulogadung pada saat ini sedang menghadapi permasalahan struktural karena meningkatnya “external diseconomies” dan “urbanization diseconomies “dari kota Jakarta, khususnya di sekitar lokasi kawasan tersebut.
Pada saat ini konsep pengembangan ekonomi daerah melalui pendekatan growth center telah berkembang dengan sangat pesat dan diujicobakan di berbagai tempat strategis di dunia. Kawasan Silicon Valley telah dikembangkan sedemikian rupa dan dihubungkan dengan pemanfaatan aglomerasi dalam industri terkait dalam industri komputer, chips, dan elektronik (Scott, 1990). Hal yang serupa banyak dilakukan di negara maju kawasan industri otomotif di Jepang; North Carolina Research Triangle Park yang memanfaatkan kedekatan terhadap lokasi tiga universitas besar masing masing University of North Carolina at Chapel Hill, North Carolina State University dan Duke University menjadi lokasi favorit untuk riset di bidang kedokteran, obat-obatan dan penyakit kanker; British Science Park di Inggris walaupun manfaatnya masih sedang dikaji ulang (Gower, 1995); proyek high-tech corridor dari PM Mahatir di Kuala Lumpur dan yang paling akhir rencana pengembangan lokasi ex-lapangan terbang Kemayoran sebagai cyber-city merupakan contoh-contoh pengembangan strategi investasi growth center abad ke 21.
3. Strategi Pengembangan Ancillary Industry
Jika industri yang berorientasikan ekspor atau suatu leading industry dan dapat pula kawasan industri atau pelabuhan/airport menjadi cukup berkembang sehingga dapat menciptakan pasar untuk produk-produk lanjutan , baik ke hulu maupun ke hilir, dan atau kegiatan tersebut telah cukup untuk menghasilkan external localization economies untuk industri-industri yang terkait, maka strategy pengembangan ancillary industry sudah dapat dicoba untuk dilaksanakan (Moriarty ,1980).
Ancillary industry tertarik untuk datang ke suatu daerah karena penghematan ongkos angkut, seperti halnya dalam kasus dimana baik leading dan ancillary industry menggunakan bahan baku atau produk intermediate yang sama dalam proses produksi mereka. Hal ini banyak kita jumpai pada industri kertas semen, bahan baku cat, karoseri kendaraan, percetakan dan sebagainya. Alasan lainnya adalah karena labor pool, yaitu industri ancillary berlokasi dekat dengan leading industry karena dapat dengan mudah menggunakan tanaga kerja dengan ketrampilan dan pengetahuan yang sama dengan upah yang relatif rendah.
Selanjutnya kehadiran ancillary industry ini dapat menciptakan external localization economies di wilayah tersebut, antara lain perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa pemeliharaan, pelayanan bisnis, jasa profesi dan pengiriman/pengangkutan dan komunikasi. Seluruh kegiatan ini dapat mendorong tumbuh berkembangnya kegiatan ekspor dan perekonomian di daerah, sekaligus menambah kapasitas penerimaan pendapatan daerah.
Contoh terbaik dalam sukses strategi investasi ini dijumpai dalam pengembangan industri semiconductor di kompleks produksi Silicon-Valley, Los Angeles (Scott, 1987). Beberapa pengamatan atas keberhasilan strategi ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) produksi semiconductor di areal tersebut telah mendorong menjamurnya kelahiran para pemasok bahan baku maupun para subkontraktor di sekitar kompleks produksi sehingga dapat menciptakan agglomeration economies, (b) kompleks ini juga merupakan daya tarik untuk datangnya industri pengguna peralatan semiconductor, seperti pengusaha manufaktur komputer dan televisi. Kepesatan pengembangan kompleks produksi ini sayangnya tidak diantisipasi oleh Pemerintah Daerah dalam hal penyediaan labor dan perumahan serta cara-cara menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, sehingga pada saat ini terjadi ancaman naiknya agglomeration diseconomies.
Kemajuan pesat aplikasi strategi ini banyak dijumpai di beberapa tempat sekitar lapangan terbang yang menghubungkan akses kota-kota di dunia dengan mudah, cepat dan murah. Kasarda (1999) baru-baru ini mengamati kecenderungan perusahaan-perusahaan klas dunia yang bersaing menurut waktu (time-based competition) banyak memindahkan lokasi usahanya disekitar lokasi tempat lapangan terbang Dulles airport, Dallas-Fort International airport, Memphis International airport, Chicago’s O’Hare airport dan lapangan-lapangan terbang internasional lainnya. Lokasi airport disamping memberikan akses pasar dunia juga pada saat yang sama dapat diperoleh penghematan agglomeration karena kehadiran jasa profesional dalam bidang konsultan, iklan, hukum, pengolahan data, akuntansi dan auditing, dan jasa public relations.
D. Kepastian Hukum dan Kebijakan Insentif
Salah satu faktor yang terpenting dalam upaya menarik investor ke daerah adalah adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan usaha. Pengalaman selama masa orde Baru, Pemerintah kurang berhasil dalam memberikan jaminan bahwa peraturan yang telah ditetapkan dalam kegiatan investasi dan usaha akan tetap dipegang walaupun sistem pemerintahan berubah. Jaminan ini sangat diminta oleh para investor maupun calon investor dalam kegiatan investasi yang jangka waktu pengembalian modal yang ditanamnya cukup lama. Hal ini dapat kita jumpai dalam kegiatan investasi di bidang eksplorasi minyak bumi dan hasil tambang, industri berat, perkebunan, kawasan industri, apartemen dan gedung bertingkat, serta kegiatan-kegiatan high-tech industries.
Cukup menarik untuk diamati kecenderungan lembaga internasional seperti IMF yang baru-baru ini mengkhawatirkan perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam iklim berinvestasi, khususnya dengan adanya otonomi dan kegiatan desentralisasi pembangunan. Kekhawatiran itu tentunya tidak beralasan mengingat dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 , khususnya pasal-pasal dalam bidang pengawasan (pasal 114) dan bidang peraturan daerah (pasal 70), telah membatasi kemungkinan ruang gerak yang semena-mena yang akan dilakukan oleh manajemen pemerintahan daerah. Dengan adanya sistem perencanaan dan sistem prosedur yang transparan, baku dan disetujui oleh DPRD maka diharapkan calon investor dapat lebih mendapatkan kepastian dalam berusaha.
Melihat pada kepentingan perusahaan asing di masa datang dalam melakukan kegiatan investasi di daerah, Pemerintah Pusat dan DPR-Pusat harus segera mengeluarkan ketentuan perundang-undangan tentang penanaman modal, pertanahan dan pemanfaatan lahan melalui zoning, sistem perencanaan dan perizinan yang keseluruhannya dengan ketentuan-ketentuan dalam UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999 dalam rangka otonomi daerah. Produk-produk hukum tersebut hendaknya juga memberikan kepastian pada para investor bahwa modal yang ditanamkannnya dalam bentuk investasi langsung tidak akan dinasionalisasikan oleh Pemerintahan Daerah, termasuk bahwa mereka masih bebas sewaktu-waktu untuk melakukan tindakan “exit dari industri” dan mentransfer laba usaha ke luar negeri.
Alangkah baiknya jika undang-undang tersebut memberikan juga hak kepada para investor asing untuk mengajukan keberatan-keberatan kepada Pemerintah Pusat atas produk hukum di daerah yang merugikan. Akhirnya, segala Peraturan Daerah yang akan dikeluarkan tidak boleh bertolak belakang dengan produk hukum yang telah ditetapkan kepada mereka sebelum dikeluarkannya kedua Undang-undang tentang otonomi dan desentralisasi.
Proses desentralisasi pembangunan akan membawa konsekuensi pada kemungkinan masing-masing daerah untuk berlomba-lomba memberikan sistem perangsang maupun insentif investasi yang terbaik. Hal ini masih dapat ditolerir mengingat kondisi dan lingkungan berusaha yang berbeda-beda untuk setiap daerahnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi kebijaksanaan insentif investasi di daerah pada skala nasional secara “zero sum”, seperti halnya pemberian tax holiday oleh masing-masing daerah. Untuk mengatasinya, ketentuan-ketentuan kebijakan insentif investasi yang dapat merugikan kepentingan perekonomian secara nasional tidak diberikan kewenangannya kepada daerah.
Akhir kata, sistem pemberian insentif investasi di daerah hendaknya dikaitkan dengan visi dan tujuan yang tercantum dalam master plan perekonomian daerah; mempertimbangkan berbagai motive yang mendorong perusahaan asing untuk berusaha dan dampak kebijaksanaan bagi para pelaku bisnis dan calon investor di sektor ekonomi lainnya..
E. Bahan Bacaan
1 Adi Suryadi Culla. 2000. “Otonomi Daerah Dalam Tinjauan Politik”.Usahawan,No.4, April.
2 Bambang P.S. Brodjonegoro. 1999. “ The Impact of Current Asian Economic Crisis to Regional Development Pattern in Indonesia”. Makalah Seminar LPEM-USAID.
3 Batam Industrial Development Authority (BIDA). 2000. Batam: Industrial Region and Tourist Resort-Investment Guidelines..
4 Bhenyamin Hoessein. 2000. “Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Sebagai Tanggap Terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tatangan Globalisasi” Usahawan, No 04, April
5 Berry, BJL. 1969. Growth Centers and Their Potentials in Great Upper Lakes Region. Washington D.C.: Upper Great Lakes Commission.
6 Boudeville,Jr. 1961. Les espaces economiques. Paris: Presses Universitares.
7 Cameron, G. l970. “Growth Areas, growth centers, and regional conversion” Scottish Journal of Political Economy 17,19-38.
8 Darwent,DF. 1969. “Growth poles and growth centers in regional planning” dalam Friedmann dan Alonso,W., 1975. Regional Policies : Readings in Theory and Applications. Cambridge, Mass.: The MIT Press.
9 Friedmann, J. 1966. Regional Development Policy : A Case Study of Venezeula. Cambridge, Mass.: The MIT Press.
10 Hadi Setia Tunggal SH. (Ed.). 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta:Harvarindo.
11 _____________________.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta: Harvarindo.
12 Hansen,N.M. 1970. Growth Centers in Regional Economic Development. New York: The Free Press.
13 Hirschman. A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. New Haven: Yale University Press.
14 Hoover, Edgar M. 1975. An Introduction to Regional Economics. New York: Alfred A. Knopf.
15 Kasarda, John D. 1999. “Time-Based Competition & Industrial Location in the Fast Century”. Real Estate Issues, Winter 1998/1999.
16 Moriarty, Barry M. 1980. Industrial Location and Community Development. Chapel Hill, UNC: The University of North Carolina Press.
17 Perroux, F. 1964. L’economie du XXe Siele. Paris:Presses Universitaires.
18 Rodwin, L. 1963. “ Choosing regions for development” dalam Friedman dan Alonso. (eds) 1975..
19 Rostow W.W. 1971. The Stages Of Economic Growth. New York:Cambridge University Press.
20 Scott,AJ. 1987. “The US semiconductor industry: A locational analysis”. Environment Planning A, Vol.19, pp. 875-912.
21 ____________1990. “ The technopoles of Southern California” Environment Planning A, Vol. 22, pp. 1575-1605.
22 Robert A. Simanjuntak. 2000. “Implikasi Fiskal Pelaksanaan Otonomi Daerah” . Usahawan, No.4, April.
23 Vivi Yulaswati. 1999. “Mencari Paradigma Baru Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Simpul, Vol.9. Oktober. Majalah intern Otto-Bappenas.
Jakarta 12 April 2000.(copyright@aditiawanchandra)
0 Response to "Strategi Investasi Untuk Menarik Investor"
Post a Comment