Dalam rangka pengelolaan keuangan desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan terhadap perangkat Desa yg ditunjuk.
Perbuatan penyalahgunaan keuangan desa semacam penyalahgunaan Alokasi Dana Desa merupakan tindakan yg dilarang dilakukan oleh perangkat desa. Apabila dilakukan, jadi yg bersangkutan dikenai sanksi administratif berupa teguran verbal dan/atau teguran tertulis. Dalam faktor sanksi administratif tak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan mampu dilanjutkan dengan pemberhentian.
Selain itu, tindakan tersebut juga merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU 31/1999”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana ada ancaman pidana bagi orang-orang yg menyalahgunakan wewenangnya yg berakibat mampu merugikan keuangan negara.
Masyarakat mampu membikin pelaporan alias pengaduan terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat dan terhadap Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan dan perdiksi kualitas kerugian yg diselewengkan. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, butuh disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yg menjadi dugaan tindak penyelewengan.
Dalam faktor tak ada tindak lanjut dari kedua lembaga dimaksud atas pelaporan yg sudah dilakukan, jadi masyarakat mampu memberi tau dugaan penyelewengan dana desa terhadap Pemerintah Kabupaten, dalam faktor ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yg membidangi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, dan Inspektorat Daerah Kabupaten.
Jika terbukti masyarakat memiliki bukti yg kuat dan mampu dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana desa (korupsi) dimaksud, jadi masyarakat berhak mengabarkan oknum tersebut terhadap pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut.
Sebelumnya, berdasarkan keterangan yg Kalian sampaikan mengenai agenda masyarakat untuk mengambil upaya hukum, kami asumsikan penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (“ADD”) yakni ADD tak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yg Kalian maksud merupakan adanya dana desa yg diselewengkan oleh perangkat desa, jadi perangkat desa tersebut diduga menyalahgunakan wewenang alias diduga melakukan korupsi atas tugasnya dalam mengelola keuangan desa.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 mengenai Desa (“UU Desa”). Namun ketentuan lebih lanjut dengan cara khusus tersedia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 60/2014”) sebagaimana yg sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 22/2015”) dan terbaru diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 8/2016”).
Keuangan Desa
Keuangan Desa merupakan semua hak dan kewajiban Desa yg mampu dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yg berafiliasi dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.[1] Hak dan kewajiban memunculkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.[2]
Pendapatan Desa berasal dari:[3]
a. pendapatan orisinil Desa terdiri atas yg akan terjadi usaha, yg akan terjadi aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan masih banyak lagi pendapatan orisinil Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. tahap dari yg akan terjadi pajak kawasan dan retribusi kawasan Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yg merupakan tahap dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yg tak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yg sah.
Alokasi Dana Desa
Menurut Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa (“PP 47/2015”) yg dimaksud dengan Alokasi Dana Desa (“ADD”) merupakan dana perimbangan yg diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus.
Pemerintah kawasan kabupaten/kota mengalokasikan dalam biaya pendapatan dan belanja kawasan kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran.[4]
ADD tersebut paling sedikit 10% dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus.[5] Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan terhadap perangkat Desa yg ditunjuk.[6]
Bagi Kabupaten/Kota yg tak menunjukkan ADD Pemerintah mampu melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus yg seharusnya disalurkan ke Desa.[7]
ADD dibagi terhadap setiap Desa dengan mempertimbangkan:[8]
a. kebutuhan penghasilan masih kepala Desa dan perangkat Desa; dan
b. jumlah penduduk Desa, angka kemiskinan Desa, luas wilayah Desa, dan tingkat kesulitan geografis Desa.
Ketentuan mengenai pengalokasian ADD dan pemecahan ADD terhadap setiap Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.[9]
Penjelasan lebih lanjut mengenai dana desa mampu Kalian baca dalam postingan Pengalokasian, Penyaluran, dan Pengawasan Dana Desa.
Jadi salah satu sumber pendapatan desa merupakan ADD yg merupakan tahap dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota. ADD tersebut paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan terhadap perangkat Desa yg ditunjuk.
Jika Perangkat Desa Menyalahgunakan ADD
Perangkat Desa terdiri atas:[10]
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.
Perangkat Desa bertugas menolong Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.[11] Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa bertanggung jawab terhadap Kepala Desa.[12]
Perangkat Desa dilarang:[13]
1. merugikan kepentingan umum;
2. membikin keputusan yg menguntungkan diri sendiri, anak buah keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
3. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
4. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
5. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
6. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, mendapatkan uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yg mampu memengaruhi keputusan alias tindakan yg akan dilakukannya;
7. menjadi pengurus partai politik;
8. menjadi anak buah dan/atau pengurus organisasi terlarang;
9. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anak buah Badan Permusyawaratan Desa, anak buah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi alias Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yg ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
10. ikut dan dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
11. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
12. meninggalkan tugas selagi 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa argumen yg terang dan tak mampu dipertanggungjawabkan.
Perangkat Desa yg melanggar larangan tersebut dikenai sanksi administratif berupa teguran verbal dan/atau teguran tertulis.[14] Dalam faktor sanksi administratif tak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan mampu dilanjutkan dengan pemberhentian.[15]
Jadi, pada hakikatnya, dalam menjalankan tugasnya, perangkat desa dilarang untuk menyalahgunakan wewenangnya. Bagi yg melanggarnya, perangkat desa yg bersangkutan mampu dikenakan sanksi administratif.
Selain itu, tindakan tersebut mampu juga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Untuk itu, kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU 31/1999”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana ada ancaman pidana bagi orang-orang yg menyalahgunakan wewenangnya yg berakibat mampu merugikan keuangan negara.
Pasal 3 UU 31/1999, berbunyi:
Setiap orang-orang yg dengan tujuan menguntungkan diri sendiri alias orang-orang lain alias sebuah korporasi, menyalahgunakan kewenangan, peluang alias sarana yg ada padanya sebab jabatan alias kedudukan yg mampu merugikan keuangan negara alias perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur nasib alias pidana penjara paling pendek 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan alias denda paling sedikit Rp50 juta dan paling tak sedikit Rp1 milyar.
Hal serupa juga disebutkan dalam postingan Jokowi: Salah Kelola Dana Desa Bisa Jadi Tersangka Korupsi sebagaimana yg kami jalan masuk dari laman media Tempo, Presiden Joko Widodo mengingatkan para kepala desa supaya memakai dana desa dengan baik sebab mampu berujung menjadi tersangka korupsi. Dana desa tersebut wajib dipakai untuk pembangunan desa.
Jadi, apabila itu berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan desa semacam penyalahgunaan ADD, jadi tindakan tersebut mampu dikategorikan korupsi.
Langkah Hukum yg Dapat Dilakukan Masyarakat
Sebagaimana menurut info yg kami jalan masuk dalam postingan Bagaimana Cara Melaporkan Perangkat Desa Menyelewengkan Dana Desa-Lapor yg kami jalan masuk dari laman Sarana Pengaduan dan Aspirasi (SaPa) Kementerian Dalam Negeri, dalam mengabarkan adanya tindak dugaan penyelewangan dana desa, masyarakat mampu mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Masyarakat mampu membikin pelaporan alias pengaduan terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat dan terhadap Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan dan perdiksi kualitas kerugian yg diselewengkan.
b. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, butuh disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yg menjadi dugaan tindak penyelewengan. Hal ini untuk menghindari persepsi bahwa laporan yg dilakukan hanya didasarkan atas info yg tak utuh, alias praduga-praduga yg tak berdasar. Oleh sebab itu, disarankan terhadap masyarakat desa, dalam menjalankan manfaat pengamatan pembangunan diwilayahnya, kiranya butuh mengedepankan upaya-upaya dialogis, dengan meminta penjelasan/konfirmasi mengenai indikasi terjadinya korupsi terhadap pihak yg dicurigai terlibat melakukan tindakan penyelewangan tersebut.
c. Dalam faktor tak ada tindak lanjut dari kedua lembaga dimaksud atas pelaporan yg sudah dilakukan, jadi masyarakat mampu memberi tau dugaan penyelewengan dana desa terhadap Pemerintah Kabupaten, dalam faktor ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yg membidangi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, dan Inspektorat Daerah Kabupaten, alias apabila terbukti masyarakat memiliki bukti yg kuat dan mampu dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana desa (korupsi) dimaksud, jadi masyarakat berhak mengabarkan oknum tersebut terhadap pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut.
d. Pemerintah menaruh perhatian penuh terhadap praktik-praktik tindakan korupsi maupun pungli, sebab faktor itu berdampak pada kerusakan nilai-nilai sosial dan kepercayaan publik pada pemerintah. Oleh karenanya, supaya setiap tindakan alias indikasi korupsi mampu ditangani dengan optimal, masyarakat mampu menolong dengan menunjukkan info dan dukungan bukti-bukti yg memadai terjadinya tindakan korupsi dimaksud.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 mengenai Desa;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yg sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa sebagaimana yg sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana yg diubah terbaru dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Referensi:
1. https://nasional.tempo.co/read/news/2017/05/18/078876462/jokowi-salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-tersangka-korupsi, diakses pada 17 Juli 2017 pukul 16.30 WIB.
2. http://sapa.kemendagri.go.id/aspirasi/20160001089, diakses pada 17 Juli 2017 pukul 16.35 WIB.
[1] Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 71 ayat (1) UU Desa
[2] Pasal 71 ayat (2) UU Desa
[3] Pasal 72 ayat (1) UU Desa
[4] Pasal 96 ayat (1) PP 47/2015
[5] Pasal 72 ayat (4) UU Desa jo. Pasal 96 ayat (2) PP 47/2015
[6] Pasal 72 ayat (5) UU Desa
[7] Pasal 72 ayat (6) UU Desa
[8] Pasal 96 ayat (3) PP 47/2015
[9] Pasal 96 ayat (4) PP 47/2015
[10] Pasal 48 UU Desa
[11] Pasal 49 ayat (1) UU Desa
[12] Pasal 49 ayat (3) UU Desa
[13] Pasal 51 UU Desa
[14] Pasal 52 ayat (1) UU Desa
[15] Pasal 52 ayat (2) UU Desa
Perbuatan penyalahgunaan keuangan desa semacam penyalahgunaan Alokasi Dana Desa merupakan tindakan yg dilarang dilakukan oleh perangkat desa. Apabila dilakukan, jadi yg bersangkutan dikenai sanksi administratif berupa teguran verbal dan/atau teguran tertulis. Dalam faktor sanksi administratif tak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan mampu dilanjutkan dengan pemberhentian.
Selain itu, tindakan tersebut juga merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU 31/1999”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana ada ancaman pidana bagi orang-orang yg menyalahgunakan wewenangnya yg berakibat mampu merugikan keuangan negara.
Masyarakat mampu membikin pelaporan alias pengaduan terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat dan terhadap Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan dan perdiksi kualitas kerugian yg diselewengkan. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, butuh disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yg menjadi dugaan tindak penyelewengan.
Dalam faktor tak ada tindak lanjut dari kedua lembaga dimaksud atas pelaporan yg sudah dilakukan, jadi masyarakat mampu memberi tau dugaan penyelewengan dana desa terhadap Pemerintah Kabupaten, dalam faktor ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yg membidangi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, dan Inspektorat Daerah Kabupaten.
Jika terbukti masyarakat memiliki bukti yg kuat dan mampu dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana desa (korupsi) dimaksud, jadi masyarakat berhak mengabarkan oknum tersebut terhadap pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut.
Sebelumnya, berdasarkan keterangan yg Kalian sampaikan mengenai agenda masyarakat untuk mengambil upaya hukum, kami asumsikan penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (“ADD”) yakni ADD tak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yg Kalian maksud merupakan adanya dana desa yg diselewengkan oleh perangkat desa, jadi perangkat desa tersebut diduga menyalahgunakan wewenang alias diduga melakukan korupsi atas tugasnya dalam mengelola keuangan desa.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 mengenai Desa (“UU Desa”). Namun ketentuan lebih lanjut dengan cara khusus tersedia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 60/2014”) sebagaimana yg sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 22/2015”) dan terbaru diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 8/2016”).
Keuangan Desa
Keuangan Desa merupakan semua hak dan kewajiban Desa yg mampu dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yg berafiliasi dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.[1] Hak dan kewajiban memunculkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.[2]
Pendapatan Desa berasal dari:[3]
a. pendapatan orisinil Desa terdiri atas yg akan terjadi usaha, yg akan terjadi aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan masih banyak lagi pendapatan orisinil Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. tahap dari yg akan terjadi pajak kawasan dan retribusi kawasan Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yg merupakan tahap dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yg tak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yg sah.
Alokasi Dana Desa
Menurut Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa (“PP 47/2015”) yg dimaksud dengan Alokasi Dana Desa (“ADD”) merupakan dana perimbangan yg diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus.
Pemerintah kawasan kabupaten/kota mengalokasikan dalam biaya pendapatan dan belanja kawasan kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran.[4]
ADD tersebut paling sedikit 10% dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus.[5] Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan terhadap perangkat Desa yg ditunjuk.[6]
Bagi Kabupaten/Kota yg tak menunjukkan ADD Pemerintah mampu melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus yg seharusnya disalurkan ke Desa.[7]
ADD dibagi terhadap setiap Desa dengan mempertimbangkan:[8]
a. kebutuhan penghasilan masih kepala Desa dan perangkat Desa; dan
b. jumlah penduduk Desa, angka kemiskinan Desa, luas wilayah Desa, dan tingkat kesulitan geografis Desa.
Ketentuan mengenai pengalokasian ADD dan pemecahan ADD terhadap setiap Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.[9]
Penjelasan lebih lanjut mengenai dana desa mampu Kalian baca dalam postingan Pengalokasian, Penyaluran, dan Pengawasan Dana Desa.
Jadi salah satu sumber pendapatan desa merupakan ADD yg merupakan tahap dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota. ADD tersebut paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yg diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seusai dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan terhadap perangkat Desa yg ditunjuk.
Jika Perangkat Desa Menyalahgunakan ADD
Perangkat Desa terdiri atas:[10]
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.
Perangkat Desa bertugas menolong Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.[11] Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa bertanggung jawab terhadap Kepala Desa.[12]
Perangkat Desa dilarang:[13]
1. merugikan kepentingan umum;
2. membikin keputusan yg menguntungkan diri sendiri, anak buah keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
3. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
4. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
5. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
6. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, mendapatkan uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yg mampu memengaruhi keputusan alias tindakan yg akan dilakukannya;
7. menjadi pengurus partai politik;
8. menjadi anak buah dan/atau pengurus organisasi terlarang;
9. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anak buah Badan Permusyawaratan Desa, anak buah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi alias Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yg ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
10. ikut dan dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
11. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
12. meninggalkan tugas selagi 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa argumen yg terang dan tak mampu dipertanggungjawabkan.
Perangkat Desa yg melanggar larangan tersebut dikenai sanksi administratif berupa teguran verbal dan/atau teguran tertulis.[14] Dalam faktor sanksi administratif tak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan mampu dilanjutkan dengan pemberhentian.[15]
Jadi, pada hakikatnya, dalam menjalankan tugasnya, perangkat desa dilarang untuk menyalahgunakan wewenangnya. Bagi yg melanggarnya, perangkat desa yg bersangkutan mampu dikenakan sanksi administratif.
Selain itu, tindakan tersebut mampu juga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Untuk itu, kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU 31/1999”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana ada ancaman pidana bagi orang-orang yg menyalahgunakan wewenangnya yg berakibat mampu merugikan keuangan negara.
Pasal 3 UU 31/1999, berbunyi:
Setiap orang-orang yg dengan tujuan menguntungkan diri sendiri alias orang-orang lain alias sebuah korporasi, menyalahgunakan kewenangan, peluang alias sarana yg ada padanya sebab jabatan alias kedudukan yg mampu merugikan keuangan negara alias perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur nasib alias pidana penjara paling pendek 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan alias denda paling sedikit Rp50 juta dan paling tak sedikit Rp1 milyar.
Hal serupa juga disebutkan dalam postingan Jokowi: Salah Kelola Dana Desa Bisa Jadi Tersangka Korupsi sebagaimana yg kami jalan masuk dari laman media Tempo, Presiden Joko Widodo mengingatkan para kepala desa supaya memakai dana desa dengan baik sebab mampu berujung menjadi tersangka korupsi. Dana desa tersebut wajib dipakai untuk pembangunan desa.
Jadi, apabila itu berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan desa semacam penyalahgunaan ADD, jadi tindakan tersebut mampu dikategorikan korupsi.
Langkah Hukum yg Dapat Dilakukan Masyarakat
Sebagaimana menurut info yg kami jalan masuk dalam postingan Bagaimana Cara Melaporkan Perangkat Desa Menyelewengkan Dana Desa-Lapor yg kami jalan masuk dari laman Sarana Pengaduan dan Aspirasi (SaPa) Kementerian Dalam Negeri, dalam mengabarkan adanya tindak dugaan penyelewangan dana desa, masyarakat mampu mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Masyarakat mampu membikin pelaporan alias pengaduan terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat dan terhadap Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan dan perdiksi kualitas kerugian yg diselewengkan.
b. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, butuh disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yg menjadi dugaan tindak penyelewengan. Hal ini untuk menghindari persepsi bahwa laporan yg dilakukan hanya didasarkan atas info yg tak utuh, alias praduga-praduga yg tak berdasar. Oleh sebab itu, disarankan terhadap masyarakat desa, dalam menjalankan manfaat pengamatan pembangunan diwilayahnya, kiranya butuh mengedepankan upaya-upaya dialogis, dengan meminta penjelasan/konfirmasi mengenai indikasi terjadinya korupsi terhadap pihak yg dicurigai terlibat melakukan tindakan penyelewangan tersebut.
c. Dalam faktor tak ada tindak lanjut dari kedua lembaga dimaksud atas pelaporan yg sudah dilakukan, jadi masyarakat mampu memberi tau dugaan penyelewengan dana desa terhadap Pemerintah Kabupaten, dalam faktor ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yg membidangi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, dan Inspektorat Daerah Kabupaten, alias apabila terbukti masyarakat memiliki bukti yg kuat dan mampu dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana desa (korupsi) dimaksud, jadi masyarakat berhak mengabarkan oknum tersebut terhadap pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut.
d. Pemerintah menaruh perhatian penuh terhadap praktik-praktik tindakan korupsi maupun pungli, sebab faktor itu berdampak pada kerusakan nilai-nilai sosial dan kepercayaan publik pada pemerintah. Oleh karenanya, supaya setiap tindakan alias indikasi korupsi mampu ditangani dengan optimal, masyarakat mampu menolong dengan menunjukkan info dan dukungan bukti-bukti yg memadai terjadinya tindakan korupsi dimaksud.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 mengenai Desa;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yg sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa sebagaimana yg sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengenai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana yg diubah terbaru dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yg Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Referensi:
1. https://nasional.tempo.co/read/news/2017/05/18/078876462/jokowi-salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-tersangka-korupsi, diakses pada 17 Juli 2017 pukul 16.30 WIB.
2. http://sapa.kemendagri.go.id/aspirasi/20160001089, diakses pada 17 Juli 2017 pukul 16.35 WIB.
[1] Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 71 ayat (1) UU Desa
[2] Pasal 71 ayat (2) UU Desa
[3] Pasal 72 ayat (1) UU Desa
[4] Pasal 96 ayat (1) PP 47/2015
[5] Pasal 72 ayat (4) UU Desa jo. Pasal 96 ayat (2) PP 47/2015
[6] Pasal 72 ayat (5) UU Desa
[7] Pasal 72 ayat (6) UU Desa
[8] Pasal 96 ayat (3) PP 47/2015
[9] Pasal 96 ayat (4) PP 47/2015
[10] Pasal 48 UU Desa
[11] Pasal 49 ayat (1) UU Desa
[12] Pasal 49 ayat (3) UU Desa
[13] Pasal 51 UU Desa
[14] Pasal 52 ayat (1) UU Desa
[15] Pasal 52 ayat (2) UU Desa
0 Response to "Penyalahgunaan Alokasi Dana Desa oleh Perangkat Desa"
Post a Comment